Makan Patita
Oleh: Dina Tuasuun
Asap mengepul dari dapur di rumah Anwar. Aroma pisang kukus terbawa ke kamar. Anwar terbangun. Ia ingat! Kemarin, ia dan Laila, adiknya, ikut Aba ke kebun. Mereka memanen pisang raja. Tiga tandan pisang yang besar dan kekuningan mereka bawa pulang.
Anwar bergegas. Hari masih subuh, tetapi Aba dan Ama sudah sibuk di dapur. Aba dan Ama, begitulah Anwar memanggil ayah dan ibunya. Aba bolak-balik mengambil air dengan ember. Ama mengupas singkong yang biasa disebut kasbi.
Kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan, saat Anwar menyapa Ama.
“Ma, beta mau makan pisangnya ya!”
“Jangan, itu untuk kita bawa ke pantai!”
“Hah? Banyak sekali, Ma?!”
Belum habis kebingungannya, Aba mengajak Anwar salat subuh berjamaah terlebih dulu. Masjid kampung tidak jauh dari rumah mereka. Setelah itu, mereka sarapan bersama. Nasi pulut unti yang masih mengepul membangkitkan selera. Perpaduan beras ketan, parutan kelapa, dan siraman gula terasa manis dan gurih.
Setelah perut lapar terisi, mereka kembali ke dapur. Sinar matahari sudah menerobos masuk. Laila juga bangun.
“Anwar, bantu ayak tepung sagu itu, ya! Kita buat sagu bakar,” pinta Ama. Dengan sigap, Anwar mengerjakannya. Sambil menggoyangkan saringan, Anwar masih memikirkan mengapa ada banyak makanan yang disiapkan. Ada pisang, kasbi, dan sagu. Saat satu per satu makanan melintas di benak Anwar, butiran halus tepung yang diayaknya menerobos masuk ke dalam wadah.
Sementara itu, di kampung sebelah, suasana serupa terjadi. Pagi yang sibuk di rumah Chris. Lima ekor ikan kakap sudah dibersihkan dan dipotong-potong. Mama yang menyiapkannya. Sekarang giliran Chris menghaluskan bumbu untuk kuah kuning.
“Usi, sampai kapan digiling begini?” tanya Chris kepada Usi Nona, kakak perempuannya yang sedang mengupas bawang. Makin lama, tenaga Chris makin habis.
“Sampai lala!” jawab Usi Nona bercanda. Lala berarti capek. Itulah yang sedang Chris rasakan.
Chris cemberut mendengar jawaban itu. Biasanya tidak sebanyak ini mereka memasak ikan.
“Nanti kan makanannya kita mau bawa ke pantai, Chris!” kata Mama.
Chris tidak menjawab. Minggu lalu, dia dan teman-temannya di gereja sudah melakukan kebaktian di tepi pantai. Entah kenapa hari ini Mama dan Papa mengajaknya ke pantai lagi.
Di atas meja makan, Papa menaruh kuali tanah liat. Di dalamnya ada tepung sagu yang sudah bercampur air dingin. Pelan-pelan, Papa menuangkan air panas mendidih ke dalamnya. Seketika tepung mengental. Papa lalu mengaduknya dengan sendok kayu. Sedikit perasan jeruk nipis ditambahkan ke dalamnya. Papa sedang membuat papeda.
Chris memperhatikan papa sambil terus menggiling. Banyak sekali makanan yang mereka siapkan hari ini. Ikan kuah kuning dan papeda. Saat satu per satu makanan melintas di benak Chris, satu per satu bumbu makin halus tergilas oleh batu penggilingnya.
Matahari sudah tinggi. Angin bertiup sepoi-sepoi. Pantai makin ramai. Orang-orang dari beberapa kampung mulai berdatangan. Anwar dengan keluarganya. Chris dengan keluarganya. Kampung mereka bertetangga, tetapi mereka jarang bertegur sapa.
Di pantai inilah mereka berkumpul. Suasana meriah. Laila langsung bermain bersama teman-teman sebayanya di bawah pohon ketapang. Anwar dan Chris berkenalan, lalu duduk berdekatan. Usi Nona bergabung dengan orang-orang muda yang sedang bernyanyi.
Ama, Aba, Mama, dan Papa mulai menata makanan di atas daun kelapa yang berjajar panjang. Rupanya makanan yang mereka siapkan dari rumah disandingkan dengan aneka makanan lain. Ada ikan bakar lengkap dengan sambal colo-colo. Ada pula kohu-kohu yang terbuat dari berbagai macam sayuran yang dicampur dengan parutan kelapa dan bumbu. Aneka kue yang menggoda selera dan minuman pelepas dahaga juga tersedia. Semuanya disiapkan oleh masing-masing keluarga yang berbeda.
Setelah makanan siap disantap, orang-orang duduk berhadapan. Inilah tradisi makan ala masyarakat Maluku.