Panekuk 1993
Oleh: Eugenia Rakhma
Cliona menatap resep di tangannya. Sekali lagi ia kembali memasukkan tepung, gula, susu, dan telur ke dalam laci-laci di punggung Panekoki, robot pembuat kue miliknya. Cliona kemudian menekan tombol “Mencampur” di telapak kanan Panekoki. Suara deru lembut terdengar memenuhi dapur. Setelah selesai, Cliona menekan tombol “Memanggang” di telapak kiri Panekoki.
“Ting!”
Kotak besar di bagian perut Panekoki menyala. Satu demi satu panekuk muncul di kotak tersebut. Dengan tidak sabar, Cliona mengambil tumpukan panekuk yang sudah matang.
“Aduh, lagi-lagi tidak berhasil!” Cliona berkata kesal. Ia lalu menatap piring-piring berisi panekuk yang memenuhi meja dapur. “Yang ini terlalu keras! Yang ini terlalu manis. Yang ini bahkan tidak ada rasanya! Apa yang salah, ya?”
Beberapa hari ini Cliona mencoba membuat panekuk, kue kesukaan Ibu. Ia ingin membuat kue ulang tahun dari panekuk untuk merayakan ulang tahun Ibu sore nanti. Cliona menatap panik jam yang menunjukkan pukul 12 siang. Ia hanya memiliki sedikit waktu!
Sekali lagi, Cliona menatap resep di tangannya. Resep turun temurun, kata Ibu dulu. Ia menyipitkan mata, membaca tahun 1993 yang tertulis di bagian bawah kertas.
Aha! Ia mendapat ide. Ibu selalu berkata panekuk jaman dulu lebih enak karena dibuat tanpa robot. Baiklah, Cliona akan pergi ke masa lalu dan membeli panekuk untuk Ibu!
***
Cliona segera memasuki mesin waktu. Ia mengetikkan tujuan, “Toko kue, Bumi 1993.” Mesin waktu menyala terang. Sensasi ringan mengelilingi tubuh Cliona. Ia pergi ke masa lalu.
“Wah, indah!!” Cliona merangkak keluar dari mesin waktu. Ia mendarat berada di sebuah taman.
Aneka bunga warna-warni, kupu-kupu dan capung beterbangan di sekeliling. Rumah-rumah mungil beraneka warna berbaris rapi. Sungguh berbeda dengan tahun tempatnya tinggal yang penuh dengan bangunan tinggi.
Cliona pun segera memulai perburuannya mencari panekuk. Ia mengikuti setiap jalan. Menengok setiap toko kue. Namun, panekuk yang dicari tidak ada!
“Kue coklat. Jeli stoberi. Tart keju. Puding,” Cliona bergumam putus asa melihat kue-kue di toko berikutnya. Sekali lagi ia melihat catatan di tangannya untuk memastikan tahun yang tertulis.
“1993. Mengapa tidak ada?”
Cliona memutuskan beristirahat sejenak. Kakinya terasa sakit. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul dua siang. Cliona tertunduk menahan tangis. Betapa sedihnya! Ia tidak berhasil membuat panekuk, ia pun tidak berhasil menemukan panekuk untuk Ibu!
“Kau baik-baik saja?” sebuah suara menyapanya.
Cliona mengangkat kepala. Seorang anak perempuan seusianya sedang menatap khawatir.
“Apakah kau tersesat?” tanyanya lagi. Matanya menatap kertas di tangan Cliona.
“Aku tidak bisa menemukan kue ini!” seru Cliona, menunjukkan kertas resep tersebut. “Dimana aku bisa membelinya?”
Anak perempuan itu bernama Kejora. Ia bilang, panekuk tidak dijual di toko. Mereka bisa membuatnya sendiri di rumah.
“Kamu mau mengajariku?”
Cliona menceritakan rencananya membuat kue ulang tahun panekuk untuk Ibu, usahanya bersama Panekoki yang selalu gagal, dan perjalanannya ke Bumi 1993 ini.
“Baiklah, aku akan membantumu,” kata Kejora.
Cliona bersorak gembira.
Sesampainya di rumah Kejora, mereka segera menuju dapur. Kejora mengeluarkan tepung, garam, telur, dan susu. Dengan terampil, teman barunya itu memecah setiap telur dan memisahkan antara kuning dan putihnya. Ia lalu memberikan mangkuk berisi campuran terigu, kuning telur, garam, dan susu kepada Cliona untuk diaduk.
Sambil mengocok putih telur, Kejora bertanya, “Panekuk seperti apa yang disukai ibumu?”
“Yang lembut dan harum!”
Kejora mengangguk. Ia menambahkan susu, lalu menyobek kantung kertas kecil bertulis vanili.
“Haruuum,” seru Cliona ketika Kejora menaburkan butiran putih tersebut ke dalam mangkuk Cliona.
Setelah adonan di mangkuk Cliona tercampur rata, Kejora menuang kocokan putih telur ke dalamnya.
“Nah, adonan panekuk sudah siap!”
Kejora mengambil sendok sayur dan menuang adonan dengan terampil. Tangannya membuat gerakan memutar, menghasilkan bulatan sempurna di wajan.
“Waah! Kau sungguh hebat!” seru Cliona kagum.
“Kalau kau sudah sering membuatnya, kau juga pasti bisa. Mau mencoba?”
Cliona mengangguk. Meski percobaan pertama gagal, dengan sabar, Kejora membantu Cliona. Mereka bergantian menuang adonan tersebut sampai habis.
“Wah, aku bisa!” seru Cliona gembira. Ia menatap panekuk bulat sempurna yang bertumpuk di depannya. Cliona lalu menyusun panekuk-panekuk itu mengelilingi piring, lalu menumpuknya mengerucut ke atas.
“Selesai! Kue ulang tahun panekuk untuk Ibu!”
Kejora menatap tumpukan panekuk itu. Ia lalu membuka lemari es, mengeluarkan madu dan stoberi.
“Aku hanya mempunyai ini. Apakah ibumu suka?”
Cliona menatap Kejora tidak mengerti. Ya, ibunya menyukai madu dan stoberi. Lalu?
“Kau bisa menghias panekuknya,” kata Kejora menjelaskan. “Hiaslah sesuai kesukaan ibumu. Panekuk ulang tahun ini pasti terasa lebih spesial.”
Cliona pun menuangkan madu lalu menancapkan stoberi di setiap sudut panekuk. Setelah selesai, Kejora memberikan sepiring panekuk dengan madu dan stoberi kepada Cliona.
“Wah enak! Super enak! Ibuku pasti teramat suka!”
Kejora tertawa geli. “Sekarang kamu sudah tahu cara membuatnya, mudah bukan?”
Cliona mengangguk semangat. “Kamu tahu banyak tentang panekuk. Kamu juga bisa membuat panekuk yang enak. Apakah kamu ahli panekuk di jaman ini?”
Kejora menggeleng. Ia berbisik penuh rahasia, “Ibuku kemarin berulang tahun. Ia juga sangat suka panekuk!”
Mata Cliona membelalak tidak percaya. Mereka berdua lalu tertawa.