Dari Banjarnegara ke Istana Negara
Adaptasi oleh Billy Antoro dari “Mutiara di Balik Randegan” karya Renti Fatonah
Mading di depan kantor Kepala Sekolah ramai dilihat oleh siswa. Melihat peristiwa itu, Silir dan Larasati berlari kecil ke arah mereka dan berusaha menyibak kerumunan. Di depan mading, mata Silir tampak berbinar. Larasati yang berdiri di sampingnya tersenyum simpul.
“Kita bisa ikut kompetisi ini, kan, Ras?”
Larasati mengangguk cepat. “Tentu saja!”
Keduanya lantas berlari menuju kelas untuk menemui teman-teman mereka.
Poster itu berisi pengumuman bahwa Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, akan menggelar acara Seni Budaya berupa lomba tari Lengger Ayu tingkat pelajar. Sebagai penari Lengger Ayu, hati Silir dan Larasati berbunga-bunga karena paguyuban mereka, Wala Budaya, dapat ikut serta dalam lomba tahunan itu. Pada poster dituliskan bahwa paguyuban yang meraih juara pertama akan tampil di Istana Negara, Jakarta, dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi Silir, kesempatan ini harus digunakan sebaik-baiknya. Sudah lama ia bermimpi untuk menari Lengger Ayu di hadapan presiden dan para pejabat negara.
Hari demi hari dilalui Silir dengan berbagai persiapan. Mereka berlatih setiap hari, tiga bulan sebelum lomba. Sepulang sekolah, mereka bergegas ke sanggar dan berlatih. Ada hari mereka pulang sampai malam. Mereka mengulang setiap gerakan untuk memastikan tidak ada kesalahan.
Setiap siang ibunya selalu datang ke tempat latihan dengan membawakan makanan. Kedatangannya selalu dinanti Silir dan teman-temannya karena ia sengaja membawa makanan berlebih. Kadang ibu Silir ikut makan dan mendengarkan perbincangan mereka. Melihat kegigihan mereka, ibu Silir teringat masa muda dulu waktu berlatih tari Lengger untuk pentas di acara syukuran, hajatan, dan penyambutan tamu di desanya.
Hari perlombaan telah tiba. Pendopo Dipayuda Adigraha dipenuhi penonton. Sebagian dari mereka membawa spanduk dan poster berisi dukungan kepada grup unggulan. Ada 20 grup paguyuban se-Banjarnegara yang menjadi peserta. Di antara ratusan penonton, ibu Silir hadir bersama adik dan kakak Silir. Mereka menanti-nanti penampilan Silir dan teman-temannya.
Di belakang arena, Silir duduk terpaku. Hatinya gundah. Ia melihat penampilan para penari Lengger Ayu sangat bagus. Gerakan mereka luwes dan variatif. Aksesori yang dikenakan indah dan menawan. Tidak sedikit penonton yang tertawa terbahak-bahak melihat gerakan beberapa grup yang menonjolkan kelucuan.
Silir melihat raut wajah Larasati dan teman-temannya yang sepertinya menunjukkan perasaan yang sama dengannya. Tak lama kemudian, ia mendengar pembawa acara memanggil nama grupnya.
“Kita sudah berlatih keras. Tapi Tuhan lebih tahu siapa yang paling hebat. Mari tunjukkan kepada mereka bahwa kitalah yang layak jadi juara,” kata Silir sembari menunjukkan wajah optimis kepada teman-temannya.
“Ya!” teriak mereka, kompak, sambil mengepalkan tangan di udara.
Silir, Larasati, dan ketiga penari lainnya memasuki arena. Suara penonton membahana menyambut kehadiran mereka. Ketika para niyaga di pinggir arena mulai memainkan gambang, calung, saron, kendang, dan gong, Silir dan teman-temannya mulai melenggak-lenggokkan tubuhnya. Kostum biru dipadu kain jarit corak batik gumelem, dengan selendang putih serta mahkota di kepala, membuat penampilan Wala Budaya tampak begitu menawan. Para penonton terdiam, mata enggan berkedip, dan seperti menahan napas. Silir dan keempat temannya terus menari, meresapi alunan gamelan gending Jawa. Sejenak setelah penampilan mereka selesai, penonton masih terdiam dan kemudian sorak sorai meledak memenuhi seisi pendopo.
Di belakang panggung, Silir dan Larasti berpelukan. Air mata mereka bercucuran memenuhi pipi.
“Kita bisa,” ucapnya lirih.
Larasati mengangguk. Silir melepaskan pelukan saat melihat ibu dan adik-kakaknya menghampiri.
“Terima kasih ya, Bu, atas dukungan dan doanya,” ucap Silir saat kedua tangannya melingkar di punggung orang yang paling dikasihinya itu.
Perempuan 60 tahun itu membelai rambut panjang Silir, terharu bahwa ia kini punya seorang penerus.
Seluruh grup telah tampil. Dewan juri berdiskusi menentukan juara. Saat pembawa acara akan mengumumkan hasilnya, suara para penonton kembali riuh. Keriuhan itu bersambung-sambung saat juara harapan dan juara III dan II diumumkan. Namun, ketika juara I akan diumumkan, semua penonton terdiam.
Mereka menahan napas.
“Juara I adalah …” pembawa acara menggantung suaranya. “Paguyuban Wala Budaya!”
Sontak suara penonton bergemuruh menyambut pilihan dewan juri. Silir, Larasati, dan teman-temannya berlonjak-lonjak kegirangan. Pandangan Silir menyapu ratusan penonton yang bersorak sorai di hadapannya. Bibirnya tak henti-henti mengulas senyum. Akhirnya, kegigihan dan kerja kerasnya selama ini berbuah manis. Peluh yang siang-malam menjalari sekujur tubuhnya selama tiga bulan menghasilkan prestasi gemilang.
Dengan penuh haru dan mata berkaca-kaca, Silir berkata dalam hati, “Aku bisa membuktikan pada Ayah dan Ibu, dengan semangat dan kerja keras, aku bisa jadi juara!”
Ia membayangkan istana negara sudah hadir di depan mata.*