Panggil Aku Peneleh Tujuh
Adaptasi oleh Mohammad Ferandy dari “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams
Mungkin kamu tidak kenal aku. Tapi aku berani jamin, kamu pasti kenal orang-orang yang pernah kutemani seratus tahun lalu. Namaku Rumah Jalan Peneleh Gang VII No. 29-31 Surabaya. Kamu bisa panggil aku Peneleh Tujuh.
Pak Tjokro, itulah pemilikku. Kamu mungkin pernah membaca namanya di buku sejarahmu. Ya, dialah H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam. Kehidupan pada masa penjajahan cukup sulit. Untuk menambah penghasilan, Pak Tjokro menjadikanku rumah kos-kosan. Kali ini, aku ingin bercerita tentang salah satu penghuniku, Soekarno.
Mungkin kamu mengenalnya sebagai proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia. Saat aku pertama kali mengenalnya, ia hanyalah seorang pemuda berusia 15 tahun. Usianya tidak jauh beda denganmu. Ia baru masuk The Hogere Burgerschool (HBS), sekolah menengah zaman itu.
Sejak pertama kali ia datang, aku merasakan ada yang beda dengannya. Ia memiliki aura pemimpin yang mirip Pak Tjokro. Aku tahu ia akan melakukan hal besar.
Aku tahu, aku tidak bisa menyediakan kamar yang bagus buatnya. Seperti yang ia bilang dalam bukunya kelak, “Kamarku tidak memakai jendela sama sekali, dan tidak juga berdaun pintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus menerus-meskipun saat siang hari. Tidak ada kasur, dan tidak ada bantal.”
Tapi aku sudah cukup senang kamar yang ia pakai ini ia gunakan untuk menyimpan buku-bukunya. Tahukah kamu? Ia sangat senang membaca. Aku makin yakin ia akan jadi orang besar dari caranya membaca.
Ada banyak coretan di dalam bukunya, berisi komentarnya terhadap isi buku. Tidak heran pemahamannya akan isi bacaan sangat mendalam dan luas. Pak Tjokro pun senang memberinya buku.
Di mata teman-temannya, Soekarno terkadang dianggap aneh. Sering kali ia berbicara sendiri di dalam kamarnya. Ia naik ke atas meja lalu berteriak-teriak tentang hal-hal besar.
Saking kencangnya suara Soekarno, pemuda lain membalas teriak, "Hei, No, kau gila? Hei, apa kau sakit?"
Soekarno tidak menghiraukan mereka, sampai akhirnya mereka menjawab pertanyaan mereka sendiri, "Ah, tidak ada apa‐apa. Cuma si No mau menyelamatkan dunia lagi."
Memang berbeda sekali pemuda yang satu ini.
Sumber: biografi Soekarno “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ditulis oleh Cindy Adams.
Sering berlatih berbicara sendiri membuat Soekarno terlatih untuk berpidato. Kelak, ia akan berpidato di hadapan ribuan orang. Bahkan pidato-pidatonya itu direkam dan diperdengarkan. Bukan hanya di Indonesia, seluruh dunia pun mendengarkannya.
Aku merasa sangat beruntung bisa mendengar ratusan pidato pertamanya. Pidato-pidato yang tidak didengar banyak orang. Kamu tidak mungkin bisa mendengarnya. Aku masih ingat betul kata-katanya. Sungguh luar biasa!
Ada lagi yang beda dari Soekarno. Kawan-kawannya sangat suka menyaksikan pertandingan bola di luar, namun ia selalu memilih untuk bertemu tamu-tamu Pak Tjokro.
Pak Tjokro bukan orang sembarangan. Ia pemimpin perjuangan Indonesia kala itu. Banyak yang berharap ia akan membebaskan rakyat dari kesengsaraan. Itulah sebabnya orang-orang menyebutnya Ratu Adil.
Tak heran kalau tamu-tamu Pak Tjokro bukan orang sembarangan pula. Setiap harinya, datang pemimpin cabang Sarekat Islam dan juga pemimpin partai lain. Soekarno selalu duduk di dekat kaki orang-orang ini dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Aku pun sering melihatnya menulis. Banyak tulisan yang ia tulis tentang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berkali-kali pula kulihat koran yang di dalamnya ada tulisannya. Saat kubaca nama penulisnya bukan nama Soekarno tapi Bima. Ah, ternyata ia menggunakan nama pena.
Sampai akhirnya setelah lima tahun aku menjadi tempat pulang Soekarno, aku mendengar kabar kalau ia akan lanjut kuliah di Bandung. Sedih betul aku tidak bisa menemani perjuangannya lagi. Tapi setidaknya aku bisa terus mendengarkan kelanjutan perjalanan hidupnya. Tentu kamu tahu, orang-orang terus membicarakan perjuangan Soekarno.
Inilah secuil ceritaku tentang salah satu penghuni kamarku. Masih banyak yang ingin kuceritakan. Bukan hanya tentang Soekarno, tapi juga tentang penghuni lainnya.
Semoga aku bisa menceritakannya kepadamu.
Kalau kamu datang ke Surabaya, mampirlah! Akan aku ceritakan sejarah bangsamu! Saat kita bertemu, sapalah aku dengan panggilanku, Peneleh Tujuh.