Pemburu Pelangi
oleh Maria Lubis
Liburan kali ini, Rian menginap di rumah pamannya. Udara di rumah Paman lebih segar, tidak ramai kendaraan bermotor. Langit biru jernih dan kicau burung sering terdengar dengan jelas. Sangat jauh berbeda dengan keadaan di rumahnya. Hal inilah yang membuat Rian betah dan senang di rumah Paman.
Selama tinggal di rumah Paman, Rian juga punya teman baru, Didi dan Sena. Mereka sering mengajaknya bermain di luar rumah. Kadang bermain layangan atau sepak bola.
Namun, hari ini hujan turun sejak pagi. Rian tidak bisa bermain di luar. Setelah makan siang, Didi dan Sena datang, tapi mereka hanya bisa membaca majalah di teras rumah Paman.
“Reda!” tiba-tiba Sena berseru.
Akhirnya! Matahari juga muncul lagi. Mereka bisa ke luar rumah!
“Ayo kita berburu pelangi!” ajak Didi.
Berburu pelangi? Rian tidak mengerti. Tapi, mereka sangat bersemangat mengajaknya. Setelah pamit pada Bibi, Rian berlari mengikuti kedua temannya.
Meskipun terengah, akhirnya Rian berhasil menyusul. Pantas saja! Mereka tadi mendaki sebuah bukit kecil. Sekarang, sudah berada di sebuah tebing yang menghadap ke timur.
“Mana pelanginya?” tanya Rian tidak sabar.
“Tunggu!” sahut Sena.
Ternyata… benar-benar ada pelangi di langit! Rian takjub. Ini pengalaman pertaman Rian berburu pelangi.
Setelah pelangi menghilang, mereka berjalan pulang dengan santai.
“Besok kita berburu pelangi lagi, yuk!” ajak Rian.
“Bisa, kalau besok hujan lagi,” jawab Didi.
“Dan matahari muncul kembali!” timpal Sena.
Sambil berjalan ke rumah Paman, Rian memikirkan jawaban mereka. Mengapa harus menunggu hujan? Mengapa matahari harus muncul lagi? Apakah hanya itu cara untuk melihat pelangi?
Rian menunggu Paman pulang kerja untuk bertanya, tetapi Paman malah tertawa.
“Kamu kan punya ponsel, coba cari sendiri jawabannya.”
Meskipun agak cemberut, Rian mencari sendiri. Akhirnya dia menemukan penjelasannya!
Ternyata, cahaya matahari sebenarnya berwarna putih dan merupakan cahaya polikromatik. Menurut informasi yang ditemukan Rian, cahaya polikromatik berarti cahaya tersebut bisa diuraikan menjadi merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Sama seperti warna pelangi.
Masih berdasarkan informasi yang ada pada genggamannya, pelangi terjadi saat cahaya matahari dibiaskan oleh tetes-tetes air hujan. Pembiasan ini disebut sebagai dispersi. Dispersi terjadi karena perbedaan indeks bias setiap cahaya, jadi saat melewati tetes-tetes air hujan sebagai medium, cahaya matahari terurai. Pelangi juga hanya terlihat jika posisi matahari di langit tidak terlalu tinggi. Untuk melihatnya, kita harus membelakangi matahari.
Ketika sampai di akhir penjelasan, Rian tersenyum simpul. Dia menemukan sesuatu yang menarik. Pasti Didi dan Sena akan kagum!
Keesokan harinya, Didi dan Sena datang lagi setelah makan siang. Mereka mengajak Rian bermain ke luar.
“Tapi hari ini cerah, tidak akan ada pelangi,” Didi berkata.
“Kalau begitu, kita di sini saja. Ada sesuatu yang harus dicoba,” timpal Rian.
Rian mengambil segelas air dan meletakkannya di depan jendela kaca. Sinar matahari terik menerobos ke dalam ruangan. Diletakkannya sehelai kertas putih di lantai. Kemudian, dia membasahi jendela kaca dengan air panas. Setelah mengatur posisi gelas sebentar...
“Wow!” Didi dan Sena berteriak. Pelangi kecil muncul di kertas putih.
Rian senang mendengar Didi dan Sena kagum.
“Selain ini, ada cara-cara lain juga. Seperti ini...”
Rian mengambil sekeping CD lalu mengajak Didi dan Sena ke teras. Dia mencari tempat yang terkena sinar matahari, lalu mengarahkan keping CD itu hingga cahaya matahari terpantul ke dinding.
“Wah, ini bisa dicoba di rumah,” komentar Didi.
“Masih ada cara lain?” tanya Sena.
“Yuk, masuk,” ajak Rian. Dia mengajak Didi dan Sena masuk ke kamar yang dia tempati di rumah Paman. Gelas berisi air yang tadi pun dia bawa. Lalu, dia menutup tirai hingga ruangan itu gelap. Setelah itu, dia memasukkan cermin kecil ke dalam air.
“Oh iya, aku lupa senternya!” seru Rian.
Dia ke luar, meminjam senter dari Bibi. Setelah masuk lagi, Rian memberikan senter kepada Sena. “Coba sorotkan ke gelas,” kata Rian.
Sena menyalakan senter. “Kok tidak ada apa-apa?”
“Gerakkan senternya sedikit,” sahut Rian sambil membetulkan posisi tangan Sena.
“Nah! Itu dia! Kelihatan pelanginya!” Didi berseru gembira.
Rian senang sekali. Ternyata, mereka juga bisa membuat pelangi sendiri, tidak perlu berburu!